Diarykaltim.id, Kutai Kartanegara – Pemilihan Kepala Daerah (Pilkada) Kabupaten Kutai Kartanegara (Kukar) masih menyisakan sejumlah permasalahan hukum terkait sengketa pencalonan, yang hingga saat ini masih dalam proses penyelesaian sesuai dengan ketentuan perundang-undangan yang berlaku.
Laode, selaku pakar hukum, menilai bahwa putusan MK No. 129/2024 telah memenuhi syarat-syarat sebagai sebuah putusan yang memiliki kekuatan hukum tetap (inkracht). Dengan demikian, putusan tersebut tidak dapat diganggu gugat dan harus dijadikan sebagai acuan dalam penerapan hukum.
Sehubungan dengan putusan Pengadilan Tata Usaha Negara (PTUN) Banjarmasin yang baru saja dibacakan, perlu diketahui bahwa masa tenggang untuk mengajukan upaya hukum kasasi masih terbuka. Sesuai dengan peraturan yang berlaku, pihak yang merasa keberatan terhadap putusan tersebut memiliki waktu selama 20 hari untuk mengajukan permohonan kasasi.
“Jika dihitung, batas waktu maksimalnya adalah tanggal 26 atau 27. Artinya, proses ini masih berada dalam jalur hukum”, kata Laode.
Dirinya menyatakan bahwa putusan MK merupakan putusan tertinggi dan final dalam sistem ketatanegaraan Indonesia. Sesuai dengan prinsip supremasi hukum, seluruh pihak wajib menghormati dan melaksanakan putusan tersebut tanpa adanya pengecualian. Hal ini sejalan dengan amanat Pasal 7 Ayat (2) huruf n Undang-Undang Nomor 10 Tahun 2016 yang menegaskan pentingnya kepastian hukum dalam penyelenggaraan pemerintahan.
Dan berdasarkan ketentuan Pasal 7 ayat (2) huruf n Undang-Undang No 10 Tahun 2016, putusan MK Nomor 129/2024 yang telah berkekuatan hukum tetap wajib dilaksanakan oleh seluruh pihak yang berkepentingan. Pasalnya, ketetapan tersebut telah sejalan dengan prinsip bahwa putusan MK merupakan hukum tertinggi dan tidak dapat diganggu gugat.
Lebih lanjut, putusan MK pada halaman 68 memberikan penafsiran yang tegas bahwa dimulainya masa jabatan seorang pejabat negara tidak selalu identik dengan momen pelantikan. Putusan tersebut menyatakan bahwa dimulainya masa jabatan harus dihitung sejak saat pejabat tersebut secara efektif melaksanakan tugas dan kewenangan yang diberikan kepadanya.
“MK sudah tegas mendefinisikan bahwa masa jabatan dimulai sejak seseorang menjalankan tugas secara nyata, bukan dihitung sejak pelantikan. Ini memberikan kejelasan terhadap frasa yang selama ini diperdebatkan”, bebernya.
Dengan adanya penafsiran yang tidak tepat dari sejumlah pihak, laode sangat menyayangkan hal tersebut. Sebab, hal tersebut dapat menimbulkan kesalahpahaman di masyarakat.
“Putusan ini tidak bisa diputarbalikkan. Bahkan orang awam yang membaca putusannya pun akan paham karena isinya sudah sangat jelas”, tegasnya.
Berdasarkan interpretasi putusan Mahkamah Konstitusi, menurutnya, Komisi Pemilihan Umum (KPU) seharusnya tidak meloloskan pencalonan Edi Damansyah. Sebab berdasarkan perhitungan yang tepat, masa jabatan yang bersangkutan telah berakhir.
“Penafsiran hukum harus berdasarkan putusan MK. Jika ranah ini sampai ke Mahkamah Agung (MA) dan putusannya menguatkan keputusan sebelumnya, maka implikasinya bisa masuk ke ranah MK karena berpotensi memengaruhi hasil pemilihan”, jelas Laode.
Apabila MK tetap konsisten dengan putusan No 129/2024 maka sudah bisa dipastikan peluang gugurnya kandidat nomor urut 01 sangatlah besar.
“MK sudah menegaskan bahwa mereka adalah ‘The Guardian of the Constitution’. Artinya, mereka menjaga konstitusi agar berjalan sesuai filosofi hukum yang benar”, tambahnya.
Di samping itu, dirinya juga meluruskan terkait status tidak diterima (N.O.) dalam putusan PTUN lalu memiliki makna yang berbeda dengan ditolak.
“Putusan PTUN hanya menyatakan bahwa gugatan tidak memenuhi syarat formal, bukan menolak pokok perkara. Jadi, tidak ada pembahasan substansial terkait frasa dua periode dalam kasus tersebut”, tegasnya.
Menurut Laode, penyebaran informasi yang tidak akurat terkait kasus ini telah menciptakan suasana yang tidak kondusif bagi penegakan hukum. Ia menegaskan kembali pentingnya berpegang pada fakta-fakta yang teruji dan aturan hukum yang berlaku untuk memastikan proses hukum berjalan dengan adil dan transparan.
“Dengan adanya putusan MK No. 129/2024, tafsir hukum sudah sangat jelas. Tidak ada alasan bagi siapapun untuk menafsirkan aturan secara keliru”, pungkasnya.